Obstacle...


25 Januari 2013

Saya membuat salah satu keputusan besar dalam hidup saya. Resign. Yah, setelah sekian lama pemikiran tentang berhenti berkecamuk dalam hati dan otak saya, akhirnya “dia” tereksekusi juga.

Saya berpikir telah melakukan hal yang benar, atau lebih tepatnya berharap ini adalah hal yang benar. Bagi saya menunda lebih lama lagi untuk resign tapi kinerja kerja saya semakin hari semakin menurun bahkan hilang sama sekali sama saja dengan korupsi tidak langsung. Saya disini digaji oleh perusahaan untuk bekerja sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin, tapi yang ada saya mandek, tidak ada semangat kerja, apalagi ambisi untuk maju. Saya akan mengakui dengan jujur bahwa dari awal saya tidak suka pekerjaan ini, semuanya hanya diawali dengan “ketidakenakan”. Tidak enak untuk maju tapi juga tidak enak untuk mundur. Jadilah saya terperangkap disini, hidup seperti robot, hard work (dalam arti sebenar-benarnya) and gain money. Seperti buruh. Seolah orientasi hidup saya haya “Uang”. Menurut saya, jika hal ini dibiarkan terus akan sangat berbahaya, bagi saya dan bagi perusahaan terutamanya. Saya tidak ingin jadi durhaka pada pekerjaan saya. Kerja itu ibadah, ga semestinya diisi dengan kemalasan, keluh kesah, kebohongan, dan alasan-alasan. Bagaimana mau berkah dan dapat pahala kalau kerjanya tidak ikhlas?

Tapi ternyata saya salah lagi… (untuk kesekian kalinya). Orang-orang melihat dari sudut pandang mereka tanpa mau memikirkan sudut pandang saya, dan yah… saya salah lagi. Saya berusaha menjadi orang “baik”, selalu berusaha… tapi ternyata usaha saya tak seluarbiasa itu untuk membuat saya menjadi “baik” di mata orang lain. Saya selalu salah.

Padahal menurut saya ini bisa jadi sederhana, tapi kenapa orang lain harus membuatnya rumit?
Hari ini dia dating. Ujung-ujungnya dia bilang saya tidak bisa menghargai orang lain, tidak bisa menghargai dia. Lalu saya harus bagaimana kalau dia datang bukan sebagai “teman saja” tapi sebagai “teman kantor”. Dia menjudge saya sedemikian sehingga saya bahkan tidak bisa berkata apa-apa tanpa mengeluarkan air mata. Teman seharusnya mendengarkan, memahami tanpa menjudge. Kalau dari awal di kepala dia saya sudah salah, apapun yang saya katakan tak akan pernah dia pahami, baginya saya hanya membuat alasan saja. Makanya saya memilih “diam” dan dia menganggap saya tidak bisa menghargai orang lain. What a really short conclusion hah?

Dan sekarang (sekali lagi) saya ditinggalkan sendirian dalam kebingungan. Jujur saat ini pikiran saya kosong. Saya tidak tau harus bagaimana, tidak tau apa yang harus saya lakukan, tidak tau harus bicara pada siapa, rasanya seperti mau mati saja.

Ya Allah, send me someone to talk to, seseorang yang akan mendengarkan saya… memahami saya… menempatkan dirinya di posisi netral. Ya Allah, help me… I need help now… I can’t hold it anymore…

0 comments:



Post a Comment